Tebak Tebak Manggis Tes Cepat COVID

 Versi tulisan yang lebih saintifik tapi kurang ngepop dimuat di Sainspop.com/

Medicine is a science of uncertainty and an art of probability. Ilmu kedokteran adalah sains ketidakpastian dan seni kemungkinan. Ucapan terkenal William Osler, dokter pendiri Rumah Sakit John Hopkins ini, kiranya tepat sekali untuk menjelaskan perspektif utuh tentang tes cepat (rapid test) COVID-19 yang kini banyak disalahpahami.

Di negara kita, tes cepat COVID-19 lazim dianggap oleh masyarakat sebagai cara untuk mendiagosis apakah seseorang menderita COVID-19 atau tidak. Hasil tes positif dianggap kabar buruk. Sementara yang hasil tes negatif dianggap kabar baik. Hasil tes cepat bahkan dijadikan dasar surat keterangan bebas COVID-19. Pertengahan Mei lalu di Pelabuhan Merak-Bakauheni, para penumpang tertahan tidak bisa menyeberang karena diwajikan menjalani tes cepat dan membayar 300 ribu rupiah. Angkasa Pura juga mewajibkan penumpang pesawat menunjukkan surat keterangan bebas COVID-19 lewat tes cepat atau PCR. Tes cepat dijadikan dasar surat keterangan sehat padahal ada beberapa kemungkinan yang bisa jadi akan membalik kondisi sehat atau sakit.

Untuk memahami persoalan ini, pertama-tama kita harus memahami mekanisme infeksi. Ketika virus korona (SARS-CoV-2) masuk ke dalam tubuh kita, virus-virus itu tidak langsung menyerang. Mirip para pemberontak yang masuk ke sebuah kota. Mereka tidak langsung menyerang tapi menyusup, bersembunyi, membangun kekuatan, dan melakukan kejahatan skala kecil. Rentang waktu membangun kekuatan ini dikenal dengan nama “masa inkubasi”. Dalam hal virus korona, masa inkubasi ini sekitar 2 minggu, bisa lebih.

Setelah masa inkubasi ini dilewati, para pemberontak itu baru mulai melakukan serangan lebih besar. Gejala mulai kelihatan berupa batuk dan demam. Beberapa hari kemudian, tubuh akan berusaha melawan virus itu dengan cara membuat antibodi (kekebalan). Persis seperti panglima TNI yang merespons dengan cara mengirim tentara untuk menumpas pemberontakan.

Tes cepat ibarat kamera drone yang kita kirim ke lokasi, yang bisa mengenali seragam loreng TNI tapi tidak bisa mengenali pakaian pemberontak karena mereka tidak berseragam. Di sinilah salah paham sering kali muncul. Tes cepat yang lazim dilakukan di negara kita hanya mendeteksi adanya antibodi, bukan virusnya sendiri.

Hasil tes cepat bisa positif atau negatif. Selama ini kita sering menganggap tes cepat seperti hukum pasti: jika positif maka pasti begini dan jika negatif maka pasti begitu. Padahal tes cepat lebih tepatnya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan: jika positif kemungkinannya begini dan jika negatif kemungkinannya begitu.

Untuk lebih detailnya, mari kita bahas satu-satu:

  1. Hasil tes positif

Ketika hasil tes positif, itu berarti kita hanya tahu bahwa di dalam tubuh sudah ada antibodi. Sudah ada tentara di seluruh penjuru kota. Apa maknanya? Ada tiga kemungkinan di sini:

  1. Kemungkinan pertama, pasien itu sedang sakit. Bisa jadi saat itu memang para tentara (antibodi) sedang berperang menumpas pemberontak (virus). Artinya, pemberontakan (infeksi) memang sedang berlangsung. Kalau kemungkinan ini yang terjadi, berarti memang pasien itu harus menjalani isolasi dan perawatan agar tidak menulari orang lain. Tapi ini hanya salah satu kemungkinan.
  • Kemungkinan kedua, orang itu pernah terinfeksi tapi sekarang sudah sembuh. Misalnya, ia terinfeksi sebulan sebelumnya tapi ia tidak menyadarinya karena hanya mengalami gejala batuk ringan atau demam ringan. Kebetulan daya tahan tubuhnya cukup bagus sehingga tubuh bisa langsung memproduksi antibodi untuk membasmi virus. Pada saat ia menjalani tes cepat, di dalam tubuhnya sudah terdapat antibodi tapi virusnya sendiri sudah hilang karena sudah dibasmi.

Analoginya mirip dengan kondisi ketika di jalanan ada banyak tentara tapi mereka hanya berjaga-jaga karena pemberontakan yang terjadi sebulan lalu sudah berhasil dipadamkan. Namun, karena kita tidak tahu sudah berapa lama antibodi itu ada di dalam tubuh, maka kita hanya bisa melakukan tindakan waspada. Anggap saja infeksinya sedang berlangsung dan orang yang bersangkutan harus menjalani isolasi. Untuk memastikan keberadaan virus, ia harus menjalani tes polymerase chain reaction (PCR). Jika hasil tes PCR positif, berarti memang infeksi sedang terjadi dan pasien harus diisolasi. Jika hasil tes PCR negatif kemudian ia bisa melewati masa isolasi minimal dua minggu dan kesehatannya baik-baik saja, ia mungkin sudah memiliki kekebalan.

Kata “mungkin” di sini perlu digarisbawahi karena virus ini masih terhitung baru. Masih banyak hal yang belum kita ketahui. Kalaupun seseorang sudah memiliki antibodi, kita tidak benar-benar tahu apakah ia memang akan kebal atau tidak. Harusnya sih kebal, tapi semua kemungkinan masih bisa terjadi karena itu kita harus tetap waspada. Walaupun sudah punya antibodi, orang itu tetap harus mengikuti pembatasan sosial, pakai masker, dan rajin cuci tangan.

  • Kemungkinan ketiga, positif tapi salah. Istilah analitiknya positif palsu. Ini hasil tes yang menipu. Sebetulnya di dalam tubuhnya tidak ada antibodi COVID-19 tapi terbaca positif. Mirip kamera drone yang keliru, menganggap orang sipil berbaju hijau sebagai tentara. Kemungkinan ini bisa saja terjadi karena keterbatasan alat. Alat tes cepat tidak bisa memberikan akurasi 100%. Jika akurasinya 90%, berarti ada kemungkinan 10% hasilnya keliru. Untuk mengurangi kemungkinan ini, tes cepat perlu diulang lagi atau dilakukan tes PCR.

Di Indonesia kita tidak tahu berapa persen akurasinya. Pabriknya bermacam-macam dan tak ada validasinya. Bahkan sebelum banyak disorot publik, alat tes cepat banyak dijual bebas di toko-toko online.

Di Bangli, Bali, satu desa pernah dikira sebagai pusat wabah gara-gara tes cepat menunjukkan adanya 400-an orang positif. Setelah dilakukan tes cepat ulang dengan merek lain, hasinya ternyata negatif. Hasil ini diperkuat dengan tes PCR yang menyatakan mereka tidak terinfeksi COVID-19.

  • Hasil tes negatif

Ketika hasil tes negatif, itu berarti kita hanya tahu bahwa di dalam tubuh tidak ada antibodi COVID-19. Tidak ada tentara di jalanan. Apa maknanya? Ada tiga kemungkinan di sini:

  1. Kemungkinan pertama, pasien sehat. Ini kemungkinan yang disukai semua orang. Biasanya orang yang hasil tesnya negatif akan menyampaikan kabar ini dengan ungkapan “alhamdulilah negatif”. Bisa dapat surat keterangan sehat dan bebas COVID-19. Padahal sebetulnya ini hanya salah satu kemungkinan. Masih ada kemungkinan lain.

Seandainya pun ia memang bebas COVID-19, status ini hanya berlaku sementara. Setiap saat kita semua berpeluang terinfeksi, terutama jika kita banyak berinteraksi dengan banyak orang. Hari ini kita mungkin bebas virus korona, tapi besok mungkin saja kita sudah terinfeksi karena tertular saat kita naik angkutan umum.

  • Kemungkinan kedua, orang itu sudah terinfeksi virus korona tapi tubuhnya belum memproduksi antibodi. Ketika hasil tes negatif, kita hanya tahu bahwa di dalam tubuh tidak ada antibodi. Tapi ketiadaan antibodi ini bisa juga karena belum ada. Kalau seseorang terinfeksi virus korona pada hari ini lalu tiga hari kemudian menjalani tes cepat, maka antibodinya memang belum diproduksi. Biasanya antibodi baru akan diproduksi satu minggu setelah munculnya gejala.

Analoginya sama dengan kondisi pemberontakan. Ketika para pemberontak mulai menyusup di sebuah kota, panglima TNI belum mendapat laporan adanya musuh. Para pemberontak bersembunyi dan menggalang kekuatan di kota itu selama dua minggu (masa inkubasi). Setelah itu, ketika para pemberontak itu mulai melakukan pemberontakan (mulai timbul gejala), TNI masih membutuhkan waktu beberapa hari sampai tentara yang dikirim tiba ke daerah tersebut.

Kalau tes cepat dilakukan selama masa inkubasi itu, hasilnya memang akan negatif sebab memang belum ada antibodi (tentara) di dalam darah. Tapi hasil ini bisa menipu. Untuk memperkecil kemungkinan tertipu, tes harus diulangi lagi sekitar 7-10 hari kemudian. Harapannya, kalau memang sudah ada infeksi, tubuh sudah memproduksi antibodi dan terdeteksi di tes cepat.

  • Kemungkinan ketiga, negatif tapi keliru. Negatif palsu. Sebetulnya di dalam tubuh sudah ada antibodi tapi alat tes tidak bisa mendeteksinya. Sama dengan positif palsu, kemungkinan ini terjadi karena keterbatasan alat. Selalu ada kemungkinan salah. Karena itulah untuk memperkecil kemungkinan salah, tes cepat perlu diulangi lagi, apalagi jika ada riwayat kontak dekat dengan pasien COVID-19.

Ini misalnya terjadi pada adik biduan Via Vallen. Ia menunjukkan gejala sesak napas dan punya riwayat bepergian intensif. Ketika dites cepat, hasilnya negatif. Tapi ketika dites dengan metode PCR, ternyata hasilnya positif. Cerita yang sama terjadi di Banjarnegara. Seorang remaja dites cepat dan hasilnya negatif. Padahal ia menunjukkan gejala COVID-19 dan punya riwayat kontak dekat terduga pembawa virus. Setelah dites dengan PCR, terbukti hasilnya positif.

Masalah akurasi masih sering terjadi pada tes cepat COVID-19. Karena sekarang kondisinya mendesak, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika membolehkan alat tes cepat COVID-19 beredar walaupun belum punya data yang bisa dievaluasi. Spanyol dan Inggris bahkan pernah mengembalikan alat tes cepat buatan Cina karena diketahui memiliki akurasi yang rendah. Tentu tidak semua alat tes cepat memiliki akurasi yang rendah. Tapi kejadian-kejadian ini bisa memberi gambaran bahwa tes cepat bisa saja tidak akkurat.

Dari poin-poin di atas, kita bisa melihat bahwa hasil tes cepat bisa menunjukkan berbagai kemungkinan. Karena itulah tes cepat tidak bisa digunakan sebagai cara utama mendiagnosis COVID-19 melainkan sekadar penunjang. Badan Kesehatan Dunia WHO sendiri menyarankan tes cepat lebih tepat untuk tujuan survei, bukan diagnosis.Ringkasnya, hasil rapid tes cepat menunjukkan banyak ketidakpastian dan kemungkinan. Kabar buruk dan kabar baik bisa saling berkelindan.

Diberdayakan oleh Blogger.