Klorokuin ERROR

 Versi pendek tulisan ini dimuat di Sainspop.

resochin

Pada tahun 1934 seorang ahli kimia di perusahaan farmasi Jerman, Bayer, mengembangkan sebuah zat kimia baru yang ia beri nama Resochin. Hans Andersag, ahli kimia itu, mengembangkan metode sintesis senyawa baru yang diharapkan bisa menjadi obat antimalaria. Tapi ketika senyawa itu diuji klinis, ternyata efek buruknya banyak sekali. Bayer menyimpulkan, Resochin terlalu toksik untuk dijadikan sebagai obat pada manusia. Hasil kerja Hans Andersag itu pun dianggap sebagai eksperimen yang gagal. Resochin kemudian hanya disimpan di lemari arsip Bayer.

Hampir satu dasawarsa kemudian pecah Perang Dunia II. Bencana kemanusiaan ini menyebabkan banyak tentara terkena malaria. Dalam kondisi mendesak itu, Resochin dibuat lagi untuk diuji coba kedua kalinya sebagai obat antimalaria. Setelah melalui uji klinis yang lebih teliti, di luar dugaan, ternyata hasilnya positif. Resochin ampuh sebagai antimalaria dan efek buruknya ternyata masih terkendali dalam dosis terapi.

Tahun 1947, atau 13 tahun setelah penemuan Andersag itu, Resochin mulai digunakan secara luas di dunia sebagai antimalaria. Resochin menjadi merek dagang milik Bayer, sementara nama generik senyawa itu klorokuin. Kekeliruan Bayer yang meremehkan Resochin dan membuat waktu tiga belas tahun terbuang percuma itu dicatat sejarah farmasi sebagai “Resochin error”. Sejak itu Resochin mendunia, sampai ke Indonesia.

Di tahun 1980-an di daerah saya di pelosok Lamongan, orang-orang sangat akrab dengan obat ini. Pada masa itu, mantri kesehatan (lulusan Sekolah Perawat Kesehatan yang melakukan pekerjaan dokter) hampir selalu memberikan obat ini untuk orang-orang yang sakit panas walaupun itu bukan malaria. Apa pun sakitnya, kalau ada gejala panas, salah satu obat yang diberikan adalah Resochin.

Entah bagaimana dulu parasetamol jarang diberikan padahal obat ini jauh lebih aman. Dibandingkan dengan parasetamol, Resochin memang jauh lebih ampuh. Tidak sekadar menurunkan panas tapi juga menyembuhkan penyakitnya. Namun, efek samping (side effect) dan efek buruk (adverse reaction) obat ini juga jauh lebih banyak daripada parasetamol.

Seiring dengan makin banyaknya pabrik farmasi nasional, kepopuleran Resochin pelan-pelan pudar. Klorokuin mulai jarang diresepkan karena penyakit malaria makin jarang ditemui. Perkembangan zaman menyebabkan banyak habibat nyamuk malaria seperti rawa dan hutan berubah menjadi permukiman atau lahan pertanian. Ditambah lagi banyak kasus malaria yang kumannya kebal terhadap Resochin.

Setelah pergantian abad, kepopuleran klorokuin mencapai titik nadirnya. Kebanyakan apotek tidak lagi menyediakan obat ini. Masa jayanya praktis sudah selesai. Obat ini hanya populer di kalangan pencinta alam yang suka keluar masuk hutan. Biasa diminum untuk mencegah malaria.

Tapi di awal tahun 2020 ini klorokuin mendadak menjadi perhatian dunia lagi. Ini setelah Pusat Pengembangan Bioteknologi Nasional Cina mengumumkan bahwa mereka melakukan uji klinis beberapa jenis obat untuk pasien infeksi virus korona (COVID-19). Klorokuin merupakan salah satunya, selain beberapa obat antivirus.

Di Pedoman Penanganan COVID-19 yang dibagikan oleh Kementerian Kesehatan Cina ke seluruh dunia memang disebutkan dengan jelas. Klorokuin digunakan bersama obat-obat antivirus generasi baru seperti alfa-interferon, lopinavir, ritonavir, ribavirin, dan arbidol. Di pedoman sebelumnya, ada keterangan “Belum ada terapi antivirus yang efektif”. Tapi setelah tahap awal uji klinis, keterangan itu dihapus dan diganti dengan pedoman dosis terapi klorokuin fosfat dan arbidol.

Uji klinis ini seolah mengingatkan kita lagi akan kisah Resochin error. Klorokuin merupakan obat yang sangat jadul tapi ternyata masih memberi harapan, bahkan untuk kasus pandemi yang membuat seluruh dunia menjadi sepi. Sayangnya berita mengenai uji klinis klorokuin ini di media massa lebih banyak berupa sensasi. Seolah-olah ini berita kategori stop press bahwa obat COVID-19 sudah ditemukan! Padahal ini hanyalah satu langkah kecil dari proses panjang uji klinis yang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Bahkan seandainya pun hasilnya bagus, itu tetap tidak berarti bahwa klorokuin adalah obat COVID-19. Karena klorokuin hanya salah satu dari beberapa jenis obat yang diuji. Ia tidak bekerja sendiri. Fungsinya untuk membantu meningkatkan keampuhan antivirus.

Tapi berita ini kadung menghebohkan. Ini sesuai dengan kecenderungan kita yang menyukai sensasi. Padahal sebetulnya kita bisa dengan mudah mencerna berita macam ini menggunakan logika sederhana saja. Kalau klorokuin sudah cukup ampuh sebagai antivirus korona, kenapa Cina dan seluruh dunia harus sampai jungkir balik menghadapi pandemi ini?

Kalau berita uji klinis yang sifatnya akademis ini kita telan mentah-mentah, akibatnya bisa terjadi “chloroquine error” yang lain. Bedanya, Resochin error zaman dulu adalah bentuk sikap meremehkan sementara chloroquine error kali ini berupa sikap melebih-lebihkan dan misuse (menggunakan secara salah). Ini harus kita waspadai karena gejalanya sudah terjadi di negara kita.

Setelah Presiden Jokowi mengumumkan rencana impor klorokuin, orang-orang mulai ikut-ikutan berburu obat ini seperti mereka berburu masker. Pertanyaannya, kalau kita sudah mendapatkan klorokuin, lantas mau diapakan? Diminum begitu saja? Berapa lama? Katakanlah wabah ini berlangsung sampai enam bulan mendatang, apakah kita akan minum klorokuin sampai enam bulan?

Ini bukan hanya irasional tapi juga berbahaya. Sekali lagi: irasional dan berbahaya. Bahkan mungkin lebih berbahaya daripada COVID-19 sendiri. Sebab klorokuin tergolong obat yang efek buruknya cukup banyak, mulai dari gangguan mata, saluran cerna, jantung, sampai sel darah. Kita perlu mengingat lagi bahwa Resochin error dulu terjadi karena obat ini sangat toksik. Kalaupun klorokuin akan digunakan untuk mengatasi COVID 19, itu hanya akan dilakukan oleh dokter, bukan untuk pengobatan mandiri oleh orang awam.

Ringkasnya, kita tak perlu berburu klorokuin. Tak ada gunanya. Tanpa pengawasan dokter, konsumsinya irasional dan berbahaya. Chloroquine error bisa sama bahayanya dengan virus korona!

Mohammad Sholekhudin, Apoteker, penulis Buku Obat Sehari-Hari

Diberdayakan oleh Blogger.