Tulisan agak serius ini dimuat di
https://news.detik.com/kolom/d-5004874/belajar-dari-jamu-china-untuk-corona
Beberapa waktu lalu, Detikcom memuat berita yang menarik; Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membagi-bagikan obat tradisional China berbentuk jamu kepada para pasien Covid-19 di rumah-rumah sakit rujukan. Tentu saja banyak pihak menganggap ini aneh. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia dan Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia memprotesnya.
Di luar perkara polemiknya, fakta itu menyingkap sesuatu yang sangat penting, yaitu bahwa dalam urusan jamu pun produk dalam negeri masih belum begitu dipercaya, masih kalah oleh produk China.
Selama wabah Covid-19 ini berlangsung, kita melihat kedigdayaan China dalam hampir semua hal, termasuk kemajuan dunia farmasi mereka. Ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Jokowi menyebut klorokuin sebagai obat Covid-19, itu adalah bentuk pengakuan tak langsung terhadap ilmu pengobatan China. Saat itu klorokuin baru dalam tahap uji klinis, tapi Trump dan Jokowi sudah mengumumkannya sebagai "obat Covid-19".
Padahal uji klinis klorokuin di beberapa negara ternyata memberi hasil yang kurang memuaskan. Di Brazil, misalnya, peneliti menghentikan uji klinis ini karena klorokuin diketahui menyebabkan gangguan irama jantung.
Selama ini kita mungkin hanya menaruh perhatian kepada klorokuin, antivirus, dan vaksin. Tak banyak yang memperhatikan bahwa China juga menggunakan obat tradisional (traditional chinese medicine/TCM) untuk pasien-pasien Covid-19. Ini tampak sangat jelas di Pedoman Pencegahan, Pengendalian, Diagnosis, dan Manajemen Covid-19. Di sana tertulis dengan jelas beberapa resep TCM yang digunakan bersama klorokuin, antivirus, dan obat-obat modern lainnya.
Sebagian besar bahan untuk resep ini khas TCM, misalnya tanaman efedra, biji aprikot, artemisia, dan aneka jamur. Sebagian lagi adalah tumbuhan-tumbuhan yang juga biasa dipakai untuk obat tradisional di negara kita, misalnya akar manis, kayu manis, jeruk nipis, tempuyung, dan sambiloto.
Yang mengagumkan, obat-obat tradisional ini tidak hanya dalam bentuk pil atau jamu melainkan juga dalam bentuk injeksi yang langsung dimasukkan ke dalam peredaran darah. Padahal larutan injeksi merupakan sediaan farmasi yang produksinya sangat rumit karena harus bebas dari mikroba maupun kontaminasi partikel mikro.
Injeksi TCM itu antara lain Xiyanping, Xuebijing, Reduning, Tanreqing, dan Xingnaojing. Xiyanping dibuat dari tanaman yang cukup banyak digunakan sebagai obat tradisional di negara kita, yaitu sambiloto. Reduning dibuat dari tiga macam tumbuhan. Xuebijing dan Tanreqing masing-masing dibuat dari lima macam tumbuhan.
Adapun Xingnaojing dibuat dari pil yang cukup terkenal di kalangan pencinta obat China di Indonesia, yaitu An Gong Niu Huang (biasa dilafalkan Ankung). Pil ini biasa digunakan untuk pasien stroke. An Gong Niu Huang adalah obat legendaris yang formulanya dibuat pada masa Dinasti Qing abad ke-18. Obat stroke ini digunakan karena pasien Covid-19 biasanya juga memiliki penyakit lain selain infeksi virus, termasuk stroke.
Tak diragukan lagi, China adalah negara yang paling berani menggunakan obat tradisional dan menempatkannya sejajar dengan obat modern. Cara ini dipraktikkan tidak hanya oleh individu, tapi juga oleh institusi rumah sakit dan didukung penuh oleh pemerintah.
Tentu saja kalau kita menggunakan standar ilmu kedokteran Barat, kita akan menemukan banyak peringatan mengenai praktik ini. Food and Drug Administration (Badan Pengawas Obat dan Makanan/BPOM AS) mengkategorikan metode pengobatan tradisional seperti ini sebagai metode yang berisiko.
Ini bisa dimaklumi karena metode pengobatan Barat lebih banyak menggunakan senyawa-senyawa tunggal yang disintesis di laboratorium. Salah satu sebabnya adalah karena senyawa tunggal efeknya lebih mudah diamati di dalam riset. Sementara satu jenis TCM bisa mengandung banyak sekali zat fitokimia yang tentu akan menyulitkan pengamatan saat riset. Apalagi filosofi Ying-Yang yang digunakan di TCM juga berbeda dari filosofi kedokteran Barat.
Untuk mengembangkan TCM, pemerintah China tak main-main. Mereka sampai membuat badan khusus, Administrasi Nasional Pengobatan Tradisional China, semacam BPOM tapi khusus untuk pengembangan obat tradisional. Lembaga ini ikut menyusun Pedoman Penanganan Covid-19. Tak hanya itu, Cina juga mendirikan universitas-universitas yang khusus berfokus pada pengembangan TCM.
Banyak ahli TCM di negara kita adalah lulusan universitas-universitas itu, termasuk yang meramu jamu Covid-19 yang dibagikan oleh Sufmi Dasco Ahmad.
Karena universitas-universitas di China banyak melakukan penelitian mengenai TCM, laporan dari riset-riset itu pun sudah cukup banyak kita jumpai di jurnal-jurnal ilmiah. Dukungan riset ini merupakan salah satu faktor penting kemajuan TCM. Bagian ini harusnya ditiru di Indonesia kalau kita menginginkan jamu bisa setara dengan TCM.
Dalam hal kekayaan hayati, Indonesia tak kalah kaya daripada China. Kita juga memiliki tradisi pengobatan herbal yang turun-menurun walaupun tidak setua tradisi di China. Sayangnya, perkembangan obat tradisional Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan perkembangan obat modern yang bahan bakunya juga diimpor dari China.
Indonesia mungkin sulit berkompetisi dengan China dalam hal swaproduksi obat-obatan modern. Tapi dalam hal obat tradisional, kalau hanya selevel jamu dan bukan injeksi, harusnya kita bisa melakukannya. China memang memiliki aneka tanaman yang tidak kita miliki. Tapi kita juga memiliki aneka tanaman yang tidak mereka miliki.
Kita memang tidak tahu persis isi jamu Covid-19 itu. Tapi sangat mungkin formulanya bisa disubstitusi dengan obat herbal Indonesia. Cara Sufmi Dasco Ahmad membuat kesimpulan bahwa kesembuhannya dari Covid-19 karena minum jamu TCM itu jelas bisa dipertanyakan.
Bisa saja karena memang infeksi yang ia alami bukan kategori berat. Mungkin kebetulan daya tahan tubuhnya cukup bagus. Apalagi banyak laporan menunjukkan bahwa infeksi virus Covid-19 memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda. Ada yang harus sampai masuk rumah sakit. Ada pula yang cuma demam dan batuk ringan. Bahkan ada yang diketahui positif terinfeksi, tapi tidak merasakan gejala yang bermakna.
Kalau sekadar obat tradisional untuk menguatkan daya tahan tubuh, kita punya banyak obat herbal yang bisa dipakai, mulai dari level jamu hingga fitofarmaka yang tingkatnya sama dengan obat modern. Yang levelnya sudah fitofarmaka misalnya berasal dari tanaman meniran, yang produk komersialnya cukup laris di negara kita. Yang levelnya jamu lebih banyak lagi: kunyit, jahe, temulawak, jintan, adas, jambu biji, dan masih banyak lagi.
Dalam hal riset ilmiah, bahan-bahan tersebut mungkin masih kalah dari TCM. Tapi kalau cuma selevel jamu, keduanya tak berbeda jauh.
Jadi, kalau selama ini kita hanya mengimpor TCM, sudah waktunya kita juga "mengimpor" etos mereka dalam memajukan obat tradisional. Dan itu mungkin bisa dimulai dari wakil rakyat di DPR.
Mohammad Sholekhudin, apoteker, penulis Buku Obat Sehari-Hari