minyak eukaliptus
Beberapa waktu lalu, beredar kabar gembira di internet. Peneliti sudah menemukan zat yang berpotensi sebagai obat COVID-19. Yang mengejutkan, obat ini ternyata sudah biasa digunakan sehari-hari di Indonesia. Harganya murah, dijual di mana-mana, tak hanya di apotek tapi juga Indomaret, Alfamart, sampai toko kelontong.

Berita gembira ini disampaikan media-media massa dengan mengutip sebuah penelitian ilmiah dari India berjudul “Eucalyptol (1,8 cineole) from eucalyptus essential oil a potential inhibitor of COVID 19 corona virus infection by molecular docking studies”. (https://www.preprints.org/manuscript/202003.0455/v1) Senyawa 1,8 sineol yang ditulis di laporan ini adalah kandungan utama dari minyak eukaliptus dan kayu putih.
Dua jenis "minyak angin" ini dihasilkan dari tanaman yang berbeda tapi masih bersaudara. Kandungannya juga mirip.
Kementerian Pertanian bahkan sudah melangkah lebih maju, menjalin kerja sama dengan produsen Cap Lang untuk membuat produk eukaliptus berteknologi nano yang siap pakai. Bentuk produk akhirnya nanti berupa inhaler (seperti Vicks Inhaler), roll on (seperti Fresh Care), balsem (seperti Vicks Vaporub), minyak aromatis tetes, dan serbuk nano dalam kemasan kantung yang digunakan dengan cara dikalungkan. Istilah populernya “kalung shut out”.
Kepala Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) Kementan Dr. Fadjry Djufry bahkan berani mengatakan produk ini memang untuk menangkal virus corona penyebab COVID-19. Di kemasan prototipe produk itu bahkan ada tulisan “Anti Virus Corona”.
Sekadar untuk diketahui, virus corona adalah sebuah keluarga besar virus yang memiliki bentuk mirip. Termasuk keluarga virus ini adalah penyebab COVID-19, SARS,MERS, dan flu musiman. Fadjry Djufry menyatakan produk ini sudah dicoba ke virus corona. Walaupun yang dipakai uji coba itu bukan virus corona penyebab COVID-19, Fadjry Djufry menjamin efeknya sama karena cara kerjanya sama.
Menanggapi berita ini, para dokter langsung mengomentari dengan pertanyaan kritis, “Apakah sudah ada buktinya?”
Kalau kita menggunakan standar penelitian ilmiah, jawaban dari pertanyaan para dokter ini jelas: belum ada bukti ilmiahnya! Laporan jurnal ilmiah di atas hanya merupakan penelitian tahap awal pengembangan obat. Padahal pengembangan obat harus melewati uji coba di laboratorium, lalu diuji di hewan coba, kemudian diuji pada manusia.
Hasil positif di laboratorium dan hewan coba tidak selalu sama dengan hasil pada manusia. Uji coba pada manusia pun harus melewati beberapa fase untuk benar-benar memastikan keamanan dan khasiatnya. Intinya pengembangan obat itu tak semudah bilang bahwa zat ini bisa mengobati itu hanya berdasarkan sebuah penelitian. Logika sederhananya, kalau alkohol bisa membunuh virus, itu tidak berarti menghirup alkohol bisa menangkal COVID-19. Bisa-bisa kita yang mabok.
Seandainya pun minyak eukaliptus dan kayu putih sudah dicoba di laboratorium, hampir pasti belum diuji coba ke virus COVID-19 karena virus ini masih terhitung baru dan berbahaya. Belum banyak laboratorium yang memiliki isolatnya. Metode penelitian yang digunakan peneliti India di atas masih sebatas penambatan molekuler (molecular docking) yang bisa dilakukan menggunakan software khusus di komputer. Jadi lebih mirip simulasi komputer.
Kalau diuji di virus COVID-19 saja belum, apalagi pada manusia, apakah itu lantas berarti klaim Balitbangtan hanya omong kosong? Untuk melihat persoalan ini kita harus memahami dulu urusan izin edar dan klaim obat.
Seandainya pun nanti produk kolaborasi Balitbangtan dan Cap Lang mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, sudah pasti tidak akan ada stempel “Obat Anti Virus Corona” seperti yang tertulis di prototipenya. Produk boleh beredar di pasar dengan kategori obat tradisional seperti jamu. Kalaupun ada unsur kata “Corona” atau “COVID” di kemasan, mungkin akan seperti jamu dari Satgas COVID-19 Dewan Perwakilan Rakyat yang disamarkan di nama jamu, yaitu HerbaVid-19.
Kalau produk sudah beredar di pasaran, pertanyaan berikutnya: apakah produk itu akan punya manfaat untuk menangkal virus corona? Jawaban ringkas dari pertanyaan ini adalah “wallahualam”. Senyawa 1,8 sineol memang berpotensi melawan virus SARS-CoV-2. Tapi ini baru sebatas potensi. Kemungkinan. Mungkin ya, mungkin tidak. Kita belum tahu pasti karena belum ada uji klinis pada manusia.
Konsumen boleh saja menggunakan produk itu sebagai ikhtiar menangkal virus COVID-19. Tapi ada dua hal yang harus ditekankan. Pertama, jangan berharap terlalu tinggi. Mungkin saja produk itu tidak bisa melawan virus corona. Kedua, jangan sampai ini mengalihkan perhatian kita dari cara utama menangkal virus corona yang sudah terbukti ilmiah, yaitu #DiRumahAja, ikuti pembatasan sosial, jaga jarak, pakai masker, dan rajin cuci tangan. Kalau pakai minyak kayu putih lantas membuat kita merasa aman dari virus corona lalu pergi ke mana-mana tanpa pakai masker, itu justru berbahaya sebab akan meningkatkan risiko tertular dan menulari.
Walaupun seandainya minyak eukaliptus dan kayu putih tidak bisa melawan virus corona, setidaknya minyak asiri ini sudah lama kita pakai sehari-hari untuk flu. Tidak hanya dihirup aromanya, orang-orang desa bahkan biasa meredakan flu dengan cara minum air hangat yang ditetesi minyak kayu putih. Setidaknya ini adalah bukti empiris (walaupun belum ilmiah) bahwa minyak kayu putih, entah bagaimana mekanismenya, bermanfaat untuk meredakan gejala flu.
Saat ini memang tidak ada bukti ilmiah minyak eukaliptus dan kayu putih bisa menangkal virus corona. Tapi ini masih sebatas ketiadaan bukti (absence of evidence), belum bukti ketiadaan (evidence of absence). Apalagi pemerintah juga punya program menggalakkan obat asli Indonesia untuk mengurangi ketergantungan impor, lebih-lebih di masa pandemi seperti sekarang. Dari kaca mata ini upaya Balitbangtan layak diapresiasi dan diarahkan agar tidak menjadi pseudosains.
Kita boleh jengkel dengan kebijakan Pemerintah yang aneh. Tapi ada satu hal yang jelas, yaitu Badan POM tidak bisa melarang Cap Lang bikin jamu. Yang jelas dilarang adalah mengklaim jamu bisa mengobati ini itu, apalagi Covid-19.
Kurang ilmiah masih bisa dimaafkan asalkan produknya tidak berbahaya dan klaimnya tidak menipu. Klaim yang paling mungkin adalah menyertakan tulisan di kemasannya, “Senyawa 1,8 sineol berpotensi sebagai anti virus corona tapi belum ada bukti uji klinisnya”. Sekalian ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan edukasi masyarakat mengenai obat tradisional. Paling tidak agar masyarakat mengenal istilah “uji klinis”.
Urusan eukaliptus dan kayu putih ini tak bisa cuma dilihat dengan kacamata hitam dan putih. Sekarang kondisinya memang darurat. Dunia riset farmasi kena imbas dari pandemi ini. Pengembangan vaksin yang biasanya bertahun-tahun sekarang dipadatkan prosesnya dan mungkin hanya butuh waktu 1-1,5 tahun untuk vaksin COVID-19. Jurnal-jurnal ilmiah sekarang dibanjiri oleh hasil penelitian yang belum melewati peer-review. Contoh nyata adalah klorokuin yang sudah secara luas dipakai di Cina walaupun sebetulnya penelitiannya belum selesai dan hasilnya berbeda-beda di berbagai negara.
Dalam hal eukaliptus dan minyak kayu putih ini, masyarakat juga bisa membantu pengembangannya dengan cara ikut mendokumentasikan dan melaporkan efek penggunaan produk ini kepada Balitbangtan lewat media sosial yang mudah diakses. Misalnya, kalau inhaler eukaliptus dan kayu putih dihirup sekian menit berturut-turut ternyata menimbulkan efek pusing atau lainnya. Kalau kalung eukaliptus dan kayu putih dipakai selama sekian jam, efeknya begini atau begitu. Dengan cara sederhana ini, semua pihak bisa bekerja sama ikut memajukan obat tradisional Indonesia.
Dalam urusan obat, yang paling perlu dipastikan lebih dulu adalah keamanannya. Perkara berkhasiat atau tidak, itu urusan belakangan. Ini sesuai dengan pedoman utama dalam dunia medis: First, do no harm! Kalau aman, silakan beredar tapi klaimnya jangan diumbar.
Penulis: Mohammad Sholekhudin, apoteker, penulis Buku Obat Sehari-Hari